Rabu, 20 Juli 2011

Anita Lie Letakkan Hati Pada Nasib Guru Di Pedalaman

Dr Anita Lie
Dr Anita Lie
[WANITAINDONESIA] ~ Ia etnis Tionghoa yang sebagian besar hatinya diletakkan pada nasib guru di pedalaman. Kesempatan kian terbuka, justru ketika Anita Lie harus mengorbankan karirnya. Di depan peserta workshop, Anita Lie berbicara penuh antusias. Sesekali ia mendemonstrasikan alat peraga. “Kalau saya lihat mereka juga antusias, senang sekali hati ini,” ungkap Anita. Ia tengah berbicara di depan puluhan guru SD dari pedalaman Kalimantan Timur. Selama tiga hari, ia menjadi motivator para guru ini. Ia bekerja penuh ikhlas dan cinta.

Perempuan yang tinggal di Surabaya ini kini menjadi Direktur EduBusiness Consulting, Direktur Akademis Sentra Foreign Languages, dan juga dosen FKIP dan Pasca Sarjana Unika Widya Mandala (UWM) Surabaya. Dibesarkan di lingkungan keluarga Tionghoa tidak membuat Anita berpikir ‘sama’. Ia putuskan sendiri jalan hidupnya, menjadi seorang pendidik. Katanya, hidup adalah pilihan.
“Memang agak nyleneh, saya sendiri juga tidak tahu kenapa,” ujar Anita.
Biasanya, kata Anita, masyarakat etnis Tionghoa memilih bekerja di jalur bisnis, pedagang misalnya. Namun, sejak kecil Anita justru bercita-cita menjadi guru. Ia gemar bermain ‘guru-guruan’ di depan boneka yang jadi ‘murid’nya.
“SMP, saya ngajar bahasa Inggris anak-anak tetangga di kampung,” ujar Anita yang tinggal di kampung Sidodadi, Surabaya Utara.
Sidodadi dikenal sebagai pemukiman warga madura yang heterogen. Letaknya berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Perak. Kondisi ini membuat Anita terbiasa bermain dengan anak-anak pribumi.
Aktifitas itu dilakukan Anita hingga ia kuliah.
“Masuk Universitas, saya kuliah biaya sendiri. Itu juga karena les-les privat bahasa Inggris. Murid saya memang variatif. Yang nggak mampu. Saya gratiskan. Yang mampu saya minta bayaran dan uangnya saya tabung untuk biaya kuliah,” kata Anita senang.
Oleh orang tuanya, Anita memang dididik mandiri. Apalagi, ketika masih SMP, ia sudah dihadapkan pada kondisi keluarga yang hidup serba sulit.
“Orang tua sedang alami kesulitan finasial. Usahanya agak seret. Sebenarnya mereka kasihan juga sama saya. Tetapi saya mau nolak gimana juga. Untungnya saya tidak kehilangan masa remaja saya,” ungkap Anita.
Di waktu luang, Anita menyalurkan hobinya sebagai petualang. Bersama teman-temanya ia mendaki beberapa gunung di daerah Jawa Timur, seperti Semeru, Welirang, Penanggunan, dan sebagainya.
“Sekarang justru sedang getol-getolnya diving,” katanya, senang.
Akibat Beda Visi
Sempat Anita menjadi sekretaris di perusahaan trading. Tapi, ia merasa tidak nyaman. Baru 6 bulan kerja, Anita keluar.
“Ada dosen yang beritahu, ada lowongan di Universitas Petra. Akhirnya saya jadi dosen di sana. Bahkan saya sempat lanjut S2 dan S3 di Amerika selama 5 tahun. Terus pulang dan balik lagi ke Petra,” ujar istri Haryanto Amanta.
Sayangnya, “karena visi tidak sama, saya akhirnya putuskan keluar dari Petra. Saya menyesali kejadian-kejadian saat itu.”
Keluar dari Petra, tidak mebuat Anita bersedih. Ia jutsru mengambil hikmahnya.
“Karena ketika saya di dalam institusi itu, stigma agama tertentu begitu kuat, dan akhirnya mengkotak-kotakkan. Padahal kita dalam hidup tidak bisa mengkotak-kotakkan begitu,” ujar Anita.
Setelah keluar dari Petra, Anita merasa orang tidak melihat stigma itu pada dirinya. Anita justru bisa masuk dalam banyak pergaulan dan pekerjaan.
“Sekarang saya bergabung dengan banyak organisasi yang multi. Multi disiplin, agama dan ras. Saya banyak belajar dari orang-orang yang punya ilmu lain, seperti antropologi, sosial, politik, sosiologi, dan sebagainya. Itulah yang memperkaya saya,” ujar lulusan S3 Bidang Kurikulum dan Pengajaran dari Baylor University, Texas, AS.

Menembus Pedalaman

Sebagai orang yang bekerja di dunia pendidikan, Anita menegaskan, bahwa pendidikan itu adalah kunci.
“Kalau kita mau memajukan masyarakat, pendidikan salah satu kuncinya. Karena mutunya SDM ditentukan oleh pendidikan,” tegas ibu satu putri, Felippa Ann Amanta.
Bagai gayung bersambut, pasca keluarnya Anita dari Petra, ia mendapat tawaran menjadi motivator oleh Tanoto Foundation. Salah satu tugasnya adalah melatih dan memotivasi guru-guru daerah pedalaman.
“Saya merasa, Tuhan sudah mengatur. Ketika saya di Universitas, saya pikir saya akan di situ-situ saja. Memang saya ada pengabdian dan karya. Tetapi saya tidak menyadari bahwa karya saya waktu itu ternyata sangat terbatas sekali. Tapi setelah saya keluar, banyak pintu di buka dan saya banyak mendapat kepuasan, terutama saat ke pedalaman-pedalaman,” ungkap Anita.
Ketika hidupnya bersentuhan dengan hidup guru-guru ‘pinggiran’ ini, hati Anita tersentuh.
“Saya tersentuh sekali. Saya merasa lebih rendah hati. Saya ini bukan apa-apa dibanding guru-guru di pedalaman ini. Memang mereka punya keterbatasan, tapi itu bukan salah mereka. Itu keterbatasan sumber daya. Kadang pengetahuan tentang perkembangan ilmu yang baru, mereka tidak mengikuti karena keterbatasan. Tetapi wawasan kemanusiaannya, hatinya, toleransi keadaan yang sulit, itu luar biasa,” ujar Anita
“Saya belajar banyak sekali. Saya sangat salut pada guru-guru yang bisa bertahan pada situasi-siatusi seperti itu. Mereka tetap menjadi guru, dan itu luar biasa sekali,” ujar Anita, terharu.
Anita telah menjelajah ke sejumlah pedalaman di Papua, Kalimantan, Sumatera Utara, Riau, dan Aceh.
Sering Anita mendengar keluh kesah.
“Akhirnya saya membesarkan hati mereka. Saya memotivasinya dengan mengembalikan ke mereka. Supaya mereka mendengarkan hatinya, nuraninya sendiri. Karena saya tidak bisa mengharuskan. Atau mendikte.
Intinya kalau sudah panggilan, tekuni sebaik-baiknya. Tapi kalau panggilannya tidak disitu, yah segera buat langkah-langkah selanjutnya,” kata Anita.
Kecintaan Anita pada dunia pendidikan membuatnya di anugerahi banyak penghargaan, diantaranya Rotary International Ambassador of Good Will (1990), ACUCA Fellowship (1998), dan SEAMEO Jasper Fellowship dari pemerintah Kanada untuk penelitiannya mengenai pendidikan multikultural dan kurikulum bahasa Inggris (1994).

Mereka Tertipu Saat Datang Diklat

Anita geregetan. Ia melihat, sistem pendidikan di Indonesia masih belum berpihak pada guru-guru di pedalaman.
“Misalnya gaji diterima 4 bulan sekali. Kalau di kota-kota besar, mereka masih bisa cari obyekan. Nah kalau di pedalaman, mereka tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Anita, kesal.
Kondisi ini yang membuat murid-murid di pedalaman kerap menjadi korban.
“Tipe guru memang macam-macam. Misalnya, 4 bulan sekali gurunya ke kota ambil gaji. Ada yang cepat-cepat balik karena merasa dibutuhkan muridnya, tapi ada yang mumpung di kota, dia tidak balik. Jadi sekolah libur berminggu-minggu. Itu terjadi di Papua. Kasihan muridnya,” ujar Anita Banyak yang terpaksa.
“Saya bilang, sepanjang Anda tidak menghianati anak-anak ya tidak apa-apa. Banyak guru yang dia kerja sebagai guru, di awalnya bukan panggilan murni, tapi karena tidak punya pekerjaan lain. Tetapi ketika bertahun–tahun mengajar, mereka bisa memurnikan sendiri panggilannya. Lama-lama mereka jatuh cinta pada pekerjaan itu,” kata Anita yang bergelar doktor dalam keahlian kurikulum dan pengajaran.
Tapi, lanjut Anita, ada juga yang sampai akhir hayatnya menjadi guru yang penuh dengan keluhan dan kepahitan. “Yang begitu yang merusak dan sebaiknya ganti profesi.”
Menghadapi banyak kasus yang beragam, Anita tak henti-hentinya memberi semangat.
“Saya beri semangat dan ilmu untuk kreatifitas. Itu perlu dibagikan supaya mereka punya ide. Tapi alat itu tidak ada gunanya bila jiwanya tidak ada. Rohnya juga harus dibangkitkan. Masing-masing dari mereka sudah punya rohnya. Nah, masing-masing rohnya ini yang dihidupkan lagi,” tegas Anita.
“Apa yang kami lakukan, atau juga yang dilakukan bersama TF, itu kan tidak besar. Workshop dan pelatihan untuk satu angkatan juga terbatas,” ujar Anita.
“Nah, cara itu Itu bisa dikerjakan di tingkat daerah masing-masing. Tapi mereka harus melakukan dengan benar,” lanjut Anita.
Pernah Anita mendapat keluhan dari para guru. Mereka di undang untuk ikut diklat oleh sebuah instansi. Direncanakan diklat berlangsung 3 hari.
“Tapi baru satu hari sudah dibubarkan. Lucunya, mereka disuruh tanda tangan 3 hari hadir,” kata Anita, gemas. “Jangan sampai seperti itu. Harusnya kalau 3 hari ya 3 hari betul. Ini masalah etika.”
Cerita lain yang juga membuat Anita tak kalah gemasnya, “Mereka diundang datang diklat. Fasilitator dari dosen sebuah Universitas. Mereka antusias datang. Ternyata fasilitatornya justru presentasi Multi Level Marketing. Itu pelanggaran berat dan harus ada tindakan.” ~ [ Aien Riyadi / Tabloid Perempuan Indonesia / Februari2008 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar