Minggu, 04 September 2011

Semua Berawal dari Niat

Pelajaran berharga itulah yang saya dapatkan dari satu jam yang tak ternilai bersama Ibu Fenny Mustafa, pendiri “Shafira”  sekaligus pelopor rumah mode busana Muslimah pertama di Indonesia pada hari Jumat/ 12 Maret 2010 yang lalu. Dengan berbekal ketertarikan saya terhadap desain, terbersit keinginan untuk menjadikan Ibu dari dua orang putra ini sebagai salah satu icon untuk profil wirausaha sukses. Ditemui di salah satu Shafira House, Jl. Sulanjana No. 27, saya melihat sesosok yang sederhana, tapi memancarkan karakter yang kuat, dan satu jam yang singkat semakin menambah kekaguman saya pada sosok beliau.
 

“It is all about our decision.”


Semua orang tahu bagaimana sepak terjang Ibu yang bernama lengkap Zulfaeny Mustafa ini. Berbagai halaman website sebagai media informasi, baik dari blog ataupun liputan berita, dimana saya juga mencari tahu lebih dalam mengenai profil tentang Ibu Fenny, telah menjelaskan secara detail dan terperinci bagaimana beliau mulai merintis karirnya di bidang desain busana muslimah yang pada awalnya dianggap tidak modis hingga menjadi icon trend busana muslim yang terkenal baik di kalangan nasional maupun internasional.
Namun, di sini saya ingin menyampaikan ada empat hal utama yang menurut Ibu Fenny harus dimiliki oleh seorang wirausaha.
Pertama yaitu Kreativitas.
Bukan keahlian khusus yang dimiliki Ibu Fenny pada tata busana yang melatarbelakangi sejarah berdirinya Shafira hingga terlihat kemilau seperti sekarang ini. Namun, niat yang mulia yaitu ingin berdakwah dengan mengubah image busana muslimah yang dipandang sebelah mata, menjadi batu pijakan Ibu Fenny dan beberapa orang temannya untuk memulai bisnisnya tersebut tahun 1989. Awal produksi dikerjakan dengan bantuan beberapa penjahit yang dikenal baik oleh beliau dan awal promosi dilakukan dengan meminjamkan kepada teman-temannya untuk digunakan pada acara-acara tertentu. Kemudian, ide kreatif mengadakan fashion show di berbagai tempat dan membuka showroom membuat orang-orang tertarik dan membuka mata pada fashion busana muslimah. Segmentasi pasar juga beliau perhitungkan dengan mempromosikan Shafira untuk kalangan menengah ke atas.
Nama Shafira pun diambil dari bahasa Arab “Shaf” yang artinya barisan yang kokoh dan rapi yang menunjukkan salah satu karakter dakwah. Selain itu, kata Shafira juga terinspirasi dari batu Shafir yang memiliki kemilau biru indah sehingga beliau berharap busana Shafira yang dipakai oleh para muslimah mengesankan kelembutan dan keanggunan.
Jadi, kreatiflah dalam melihat pangsa pasar dan menciptakan suatu produk yang tidak hanya bernilai, tetapi memiliki keunikan di dalamnya.
Kedua yaitu Berani dan Bertanggungjawab
Perjuangan Shafira juga melalui pasang surut dengan melalui periode krisis ekonomi, yaitu pada tahun 1998, tetapi tidak menyurutkan langkah Ibu Fenny untuk terus maju. Keadaan terpuruk sempat beliau rasakan dimana omset penjualan menurun drastis sehingga Ibu Fenny mengalami kesulitan untuk membayar pinjaman modal dari orang-orang terdekatnya. Namun, bukan lari dari masalah yang diambil sebagai jalan penyelesaian, melainkan beliau dengan   jiwa yang besar memberanikan diri untuk mendatangi satu persatu pihak yang bersangkutan dan menjelaskan keadaannya. Walaupun raut kecewa terpancar, namun teman-teman beliau tersebut mendukung penuh usahanya. Amanah tersebut menjadi tanggungjawab beliau untuk bersemangat mengembangkan Shafira yang memiliki mimpi menjadikan Indonesia sebagai pusat mode busana muslimah dunia.
Jadi, berani dan bertanggungjawab terhadap keputusan yang telah diambil adalah penyelesaian yang lebih baik daripada lari dari masalah.
Ketiga yaitu Jaringan yang Luas
Memiliki uang sendiri bukan menjadi modal utama untuk memulai suatu usaha. Sebelum memulai kariernya di bidang bisnis, Ibu Fenny aktif di kegiatan kerohanian di Masjid Salman di Kompleks Kampus Institut Teknologi Bandung. Dari pergaulan dan diskusi intensif dengan teman-teman komunitas Masjid Salman itu timbul semangat untuk menyiarkan busana muslimah agar dihargai masyarakat. Gagasan untuk membuat desain busana muslimah yang menarik didukung oleh teman-teman seperjuangannya baik berupa modal uang, pinjaman alat jahit, membantu kerja paruh waktu, bahkan doa. Showroom dan kegiatan fashion show yang diadakan di beberapa tempat juga merupakan hasil dari antusiasme relasi-relasi beliau terhadap prospek ke depan dari Shafira.
Jadi, kepercayaan harus dibangun jauh sebelumnya dengan silaturahmi yang merupakan kunci pembuka pintu-pintu rezeki kita di kemudian hari.
Keempat yaitu Jiwa Kepemimpinan
Awal usaha dijalankan Ibu Fenny dengan keringatnya sendiri. Namun, mulai tahun 1990, dengan bantuan para kolega beliau, Shafira dikelola secara profesional dengan sistem manajemen yang telah tertata dengan baik. Ibu Fenny duduk sebagai komisaris utama, sedangkan presiden direktur dipegang oleh Bapak Gilarsi Wahyu Setijono, alumni Teknik Kimia ITB dan juga merupakan mentor beliau ketika masih aktif di Masjid Salman dahulu yang cukup lama berkiprah di perusahaan multinasional.
Saat ini, Shafira telah memiliki lebih dari 20 Showroom yang terdapat di kota-kota besar serta lebih dari 40 Outlet kerjasama dengan Departement Store yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Shafira juga telah membidik segmen menengah-bawah dengan desain baju siap pakai dengan membuka Francise Market seperti Famous, Lamara, dan Zoya yang cabangnya telah tersebar luas di seluruh Indonesia. Selain itu, Marketing Shafira juga telah menjangkau kawasan Asia Tenggara terutama Malaysia dan bersiap untuk ekspansi ke negara-negara Eropa terutama Prancis.
Jadi, tidaklah mutlak harus memiliki semua keahlian untuk mengembangkan suatu usaha, namun jiwa kepemimpinan yang menjadikan semuanya menjadi suatu yang sinergis dan dapat bekerjasama dengan baik.
***
Honestly, I did not think a Muslim runway show could exist and my feelings towards this new event are mixed. My first reaction is: how can you want to hide women, their hair, their body, their curves, and still be a fashion designer? In my eyes, fashion is not first here to conceal but to reveal, to enhance, to make more beautiful, and in some Muslim sensitivities at least, it seems that the garment is here to erase the body, to hide the personality, to reserve its beauty to a very private sexual usage only.
(Jean Paul Cauvin)
Semangat dan kreativitas Ibu Fenny mematahkan argumen dari Jean Paul Cauvin yang memandang busana muslimah sebagai produk yang tidak bernilai jual.
Mengikuti trend dunia adalah hal yang baik dilakukan agar kita tidak dipandang sebagai orang yang ketinggalan zaman. Namun berbusana modis, tetapi tetap syar’i adalah hal utama yang harus diperhatikan oleh para muslimah untuk menunjukkan identitas kita sebagai umat beragama.

sumber :  http://microwordofcattleya.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar