Selasa, 06 September 2011

Membangun Karakter Tak Bisa Instan

Membangun Karakter Tak Bisa Instan
Oleh Eko Widodo

Thomas Muller (putih) buah produk jangka panjang Jerman. (Peksi Cahyo/BOLA)

Seorang ahli ekonomi olah raga asal Inggris, Stefan Szymanski, dalam buku
Soccernomics pernah membuat perhitungan jumlah investasi untuk mencetak atlet
berprestasi di sepak bola. Diperlukan 10 ribu jam berlatih dan dana US$ 15 ribu
per orang.
Artinya, jika seorang pesepak bola berlatih selama 2 jam per hari, ia setidaknya
memerlukan 5 ribu hari untuk berprestasi internasional. Jadi, perlu 13 tahun
untuk memanen!

Thomas Muller, pemain muda terbaik di Piala Dunia 2010 asal Jerman, meraihnya di
usia 20 tahun. Saat menjuarai Eropa di kategori U-21 bersama Jerman, usianya 19
tahun. Dari data profil, Muller pertama kali bergabung dengan tim TSV Pahl tahun
1993, saat usianya baru 4 tahun (ia dilahirkan 13 September 1989).
Berpatokan dari itu, masih banyakkah keluarga di Indonesia yang memikirkan
membawa anaknya ke lapangan olah raga sejak usia dini agar suatu saat bisa
mengharumkan bangsa lewat olah raga?
Dalam buku SportParent yang dikeluarkan American Sport Education Program, masa
depan olah raga bangsa ditentukan banyaknya keluarga yang mengenalkan olah raga
sejak usia dini. "Bantulah keluarga-keluarga yang mau mendorong anaknya berolah
raga dan berprestasi," tulis buku itu.
Usia 0-5 tahun adalah kesempatan emas mengisi otak anak dengan hal-hal positif,
termasuk olah raga. Karena sering ke lapangan bola basket menonton abangnya
berlatih dan bertanding, anak perempuan saya yang baru 16 bulan punya insting
tinggi dalam olah raga.Ia bisa melakukan gerakan passing dan refleks release
menembak bola basket hanya dari melihat! Setiap melihat tayangan NBA di ESPN dan
Vision 1 Sports, ia selalu melirik bola basket (pemahaman asosiatif) yang
sengaja diletakkan di ruang tamu.
Saat belajar berjalan--yang gerakannya lebih mirip orang berlari itu--si bungsu
melakukan keseimbangan alamiah lewat kedua tangannya sehingga terhindar dari
jatuh karena memiliki psikomotorik bagus.
Pertanyaannya, berapa banyak keluarga Indonesia yang memahami psikomotorik anak?
Pemahaman biomekanik, yang turunan psikomotorik, sangat diperlukan agar si anak
melakukan gerakan dengan benar dalam bermain sembari berolah raga memenuhi
takdir sebagai homo ludens, manusia yang bermain.
Menjaga Mental
Selain aspek kognitif dan psikomotorik, satu lagi yang perlu diperhatikan sejak
dini adalah afektif (sikap mental/perilaku). Faktor ketiga itu sulit sekali
dipenuhi jika keluarga Indonesia tak memiliki komunikasi verbal bagus dalam
keseharian. Kemampuan afektif berimbas pada kedisiplinan seseorang, caring
(kepedulian), dan nilai-nilai sopan santun.
Jika sudah melakukan pengawasan sangat baik pada ranah kognitif, psikomotorik,
dan afektif calon atlet, menurut Szymanski diperlukan dana setidaknya US$ 15
ribu (Rp 138 juta) untuk memodali berprestasi. Uang itu digunakan membeli
makanan bergizi sejak kecil, menjaga kesehatan, membeli peralatan, membayar
pelatih, dan lain-lain.
Sampel yang diambil Szymanski adalah Eropa, yang mengabaikan parameter
pendidikan karena sudah memiliki standar tinggi untuk pendidikan. Untuk
Indonesia, justru pendidikan menjadi kendala.
Paradigma 'mengejar nilai' membuat anak Indonesia cenderung 'ditekan' sejak
sekolah dasar untuk mengejar nilai dan ranking setinggi-tingginya. Itu makin
diperparah oleh pelajaran Pendidikan Jasmani, yang hanya 2 jam seminggu.
Minimnya bibit atlet nan cerdas dan terpelajar itulah yang membuat prestasi
internasional Indonesia terus menurun. Atlet juga dianggap kurang disiplin,
kurang nasionalis, sehingga perlu dimasukkan dalam kelas 'Character Building'.
Nasionalisme dan disiplin adalah produk kontinuitas pendidikan. Menanamkan rasa
nasionalis dan disiplin adalah sebuah proses, tak bisa instan. Proses panjang
itu sama persis dengan menciptakan bibit atlet dalam keluarga Indonesia.

sumber : bolanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar