Selasa, 13 September 2011

Memperkaya orang kaya dan memiskinkan orang miskin

Di Indonesia, orang no.1 terkaya berasal dari industri rokok, yaitu Budi Hartono, pemilik perusahaan Djarum. Begitu juga dengan orang terkaya no.2, masih ditempati oleh saudaranya, yaitu Michael Hartono, juga pemilik Djarum (sumber: Kompas.com, mengutip Forbes).  Aburizal Bakrie, lewat sama dia. Selain itu, pemilik pengusaha rokok yang juga berkibar sebagai orang terkaya adalah Putra Sampoerna dan  Susilo Wonowidjojo pemilik Gudang Garam (Globe Asia menyebut sebagai no.6 dan no.14).
1302591274732173341



Nah, siapa konsumen yang telah menyumbangkan kekayaan terbesar bagi industri rokok tersebut? Ternyata masyarakat miskin. Karena 60% masyarakat miskin Indonesia mengeluarkan biaya untuk rokok, sementara 40% yang termiskin juga mengeluarkan biaya untuk rokok. Bagi masyarakat miskin, pengeluaran no.2 setelah beras adalah rokok (sumber: Susenas BPS).
1302591802278377513Pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok 5 kali lebih besar daripada untuk susu dan telur dan 4 kali lebih besar dibandingkan biaya pendidikan. Makanya, keluarga miskin sulit untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, karena biaya yang terbatas pun digunakan untuk rokok, bukan untuk nutrisi dan pendidikan bagi anaknya.
Kemudian, berapa duit yang dibakar per tahun untuk rokok? Dari hitung-hitungan jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang merokok (34% dari 163 jt) x jumlah konsumsi rata-rata rokok (11,38 batang/hari) x harga rokok per batang (asumsi Rp 400), maka pengeluaran setahun adalah Rp 92 trilyun! (sumber: Lembaga Demografi  UI). Biaya ini bisa untuk investasi kesehatan dan pendidikan bagi penduduk miskin.
Di Indonesia, konsumsi rokok memang sangat bebas, tanpa pengendalian. Balita pun boleh merokok. Karena memang tidak ada batasan usia. Rokok bisa dibeli dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Padahal, di luar negeri, batas usia merokok adalah 18 tahun.
1302591634222024224Belum lagi iklan di media televisi, yang sangat paradoks. Indonesia adalah satu diantara 2 negara di dunia yang membolehkan iklan rokok di tv. Bersama Zimbabwe. Ya itulah kelas kita.  Akibat iklan yg berkibar sementara cukai rendah Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun 1995 hingga kini. Yaitu dari sebanyak 34,7 juta perokok menjadi 65 juta perokok. Ini berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar.
“Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995 diperkirakan ada 33,8 juta perokok laki-laki dan 1,1 juta perokok perempuan. Namun, pada tahun 2007 angka ini meningkat drastis menjadi 60,4 juta perokok laki-laki dan 4,8 juta perokok perempuan,” kata Peneliti Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Hasan, Jakarta, Rabu.
Dan data biaya kesehatan akibat rokok juga sangat tinggi. Mencapai Rp 180 trilyun (sumber: IAKMI). Jadi, betapa besar biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat terkena jantung, kanker (utamanya paru-paru), stroke, cacat, dstnya akibat rokok tersebut.
Untuk itu, seharusnya pemerintah memang membuat regulasi yang pro-kesehatan masyarakat. Instrumen yang diharapkan dapat mengendalikan konsumsi rokok adalah: peningkatan cukai rokok (berarti harga rokok naik), penerapan kawasan tanpa rokok (untuk melindungi perokok pasif), pelarangan iklan rokok di media elektronik , memasang gambar penyakit akibat rokok (seperti rokok indonesia di singapura) di kemasan rokok, serta melindungi anak-anak dari mengkonsumsi rokok.


pawai HTTS di Bundaran HI. Foto by Andang
Tetapi, walaupun dampak kesehatan rokok sudah jelas, keberpihakan pemerintah memang masih dipertanyakan. Yang dikhawatirkan, karena lobi industri rokok yang sangat kuat mencengkram pemerintah dan DPR, sehingga pemerintah dan DPR enggan untuk menyegerakan regulasi pengendalian tembakau ini. Regulasi yang bisa menyelamatkan masyarakat miskin dan generasi muda dari jebakan asap rokok

Hebatnya lagi, Ayat yang mengatur tembakau hilang dari Undang-undang tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR bersama pemerintah pertengahan September lalu. Ayat dalam pasal 113 yang mengatur pengamanan zat adiktif tersebut, raib sebelum undang-undang ditandatangani oleh presiden dan dicatat dalam lembar negara di Sekretariat Negara.

Ahli Kesehatan Kartono Muhammad dan anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Kesehatan Hakim Sorimuda Pohan baru mengetahui hal tersebut setelah mendapatkan informasi dari beberapa rekan yang mengawal proses pembahasan. "Saya datang ke sekretariat DPR, benar ayat 2 hilang," kata Hakim dalam diskusi "Korupsi" Ayat Undang-undang Kesehatan di Hotel Soyfan, Rabu (7/10).


sumber : kesehatan.Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar