Minggu, 04 September 2011

Syiar Busana Muslimah Feny Mustafa


Trend Busana muslimah modern pada sekitar dua dekade lalu belum semeriah seperti sekrang ini. Hj  Zulfaeny Mustafa lewat merek Shafira merupakan salah seorang yang ikut merintis usaha busana muslimah. Produksi yang dimulai sejak 1989 di tempat kos di Bandung itu pada bulan Ramadhan ini menembus Malaysia.
Dulu perempuan berbusana muslimah dibilang kampungan. Waktu itu orang kota memakai busana muslimah terasa aneh karena yang umumnya pakai itu ibu haji atau perempuan di pesantren, kata Feny, panggilannya, mengenang masa awal 1980-an.
Saat itu Feny aktif di kegiatan kerohanian di Masjid Salman di Kompleks Kampus Institut Teknologi Bandung. Ia adalah mahasiswi Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Dari pergaulan, diskusi intensif anggota komunitas Masjid Salman itu timbul gagasan untuk mengenakan busana muslimah. Para mentor aktivis, termasuk mahasiswa ITB, mendorong mereka memikirkan desain busana muslimah yang menarik.

”Waktu itu kami masih muda. Kami antusias tampil trendy, presentable. Kalau kami pakai busana muslim tradisional dengan baju kurung dan sarung gaya Melayu atau baju Timur Tengah, dibilang kuno atau ninja he-he-he,” katanya.
Di kalangan kaum muda aktivis kegiatan Masjid Salman lalu timbul semangat untuk menyiarkan busana muslimah agar dihargai masyarakat. Mereka menggagas untuk membuat busana muslimah yang sesuai dengan kebutuhan kaum muda. ”Kami duduk bersama memikirkan busana seperti yang dituntut syariat, tapi disesuaikan dengan gejolak kaum muda.” katanya
Nyaman dan modis

Lewat berbagai pertemuan, lahirlah konsep busana muslimah modern. Konsep yang digagas Feny dan kawan-kawannya itu tetap berdasarkan pada pakaian seperti disebut dalam syariat Islam, yakni menutup aurat. Namun, unsur modis menjadi pertimbangan. ”Cirinya adalah simple, wearable, fashionable—sederhana, nyaman dipakai, dan modis,” katanya.

Gagasan itu diwujudkan lewat usaha yang dirintis Feny pada 1989. Saat memulai usaha, ia tak mempunyai keterampilan dalam pembuatan baju, termasuk soal perancangan. Baru pada tahun kedua ia belajar desain di sekolah Susan Budiharjo. Niatnya saat itu menyiarkan busana muslimah agar dihargai masyarakat.
Ia memulai dengan tiga mesin jahit bekas di rumah kos di kawasan Plesiran, Dago Bawah, Bandung. Usaha itu dibantu teman-teman sesama aktivis. Ada yang membantu pinjaman mesin jahit, ada yang membantu kerja paruh waktu. ”Tapi, lebih banyak yang bantu doa,” katanya.
Ketika produksi mulai stabil, Feny memajang hasil usahanya dengan menyewa ruang di sebuah gedung yang dikelola Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa Bandung di Jalan Juanda, Dago, Bandung. Melihat laju usaha yang prospektif, ia terpikir menjadikan usaha ini sebagai badan hukum. Jadilah PT Shafira Laras Persada. Usaha awal itu tak mudah. Peragaan busana muslimah yang digelar Shafira dicemooh masyarakat.
”Awal 1990-an kami ikut fashion show di Yogyakarta dan disorakin. Busana muslimah kok di-fashion show-kan,” katanya menirukan komentar sebagian orang.
Kondisi itu berubah pada pertengahan 1990-an saat busana muslimah digemari orang. Bahkan, ketika krisis ekonomi melanda negeri pada tahun 1998, usaha Feny bisa bertahan. ”Kami sudah siap melakukan efisiensi waktu itu. Tapi, setelah itu busana muslimah malah booming. Ini berkah.”
Tren dunia
Usaha itu kini telah berkembang. Shafira mempunyai ruang pajang di 12 kota di Indonesia, termasuk di luar Jawa, seperti Palembang, Banjarmasin, Samarinda, Balikpapan, dan Makassar. Itu belum termasuk gerai yang tersebar di berbagai kota, seperti Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bogor, serta mal-mal di kota besar, semisal Bandung dan Jakarta.
Pada minggu kedua September ini Shafira berencana membuka gerai di Kuala Lumpur, Malaysia. Negeri jiran itu dipilih karena mempunyai citra kuat sebagai negeri muslim dunia.
Perkembangan usaha busana muslim modern itu tak lepas dari sambutan masyarakat terhadap desain busana. Kata Feny, konsumen memperlakukan busana muslimah seperti halnya busana lain. Artinya, busana muslimah pun mengikuti tren mode dunia. Untuk itu ia juga peka mengikuti arah tren, tetapi dengan tetap memegang prinsip busana muslimah.
Untuk tahun ini misalnya, tren dunia mengarah ke Timur. Feny sebagai penanggung jawab tim kreatif Shafira menginterpretasikannya dengan memasukkan sentuhan tradisi pakaian Indonesia dalam rancangan busana muslimah.
”Kami mengambil ide busana tradisional Sumatera Barat yang kaya manik-manik dan bordir. Kami padukan dengan budaya Jawa Barat lewat warna lembut, seperti lime green, terakota, dan dusty pink. Kami sebut itu eclectic mood, suasana hati yang beragam,” katanya.
Konsumen pun menggunakan busana muslimah untuk keperluan sehari-hari pada berbagai kesempatan. Artinya, tak hanya pada acara yang berkaitan dengan keagamaan. Maka, Feny juga melayani keperluan masyarakat yang memerlukan busana muslimah untuk bekerja di kantor pemerintah atau swasta sampai untuk berlibur. Ia juga membuat busana muslimah untuk acara formal.
Memasyarakat
Shafira kini mempunyai sekitar 500 karyawan. Itu belum termasuk tenaga yang secara tak langsung terlibat dalam produksi, seperti tenaga sulam dan bordir, yang berjumlah sekitar 1.500 orang.
Usaha itu kini menghadapi tantangan untuk memperbesar jaringan. Di Shafira, Feny duduk sebagai komisaris utama. Sementara itu, presiden direktur dipegang Gilarsi Wahyu Setijono, mentor Feny saat aktif di Masjid Salman yang lama bekerja di perusahaan multinasional. ”Impian kami membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Rencananya pada tahun 2012 kami bisa masuk bursa,” katanya.
Dulu dicemooh orang, kini rancangan Shafira tampil di Jakarta Fashion Week sampai di Islamic Fashion Festival di London. ”Busana muslimah sudah diterima masyarakat. Coba masuk ke Pasar Tanah Abang, hampir 80 persen dijual busana muslimah.” katanya.
sumber : KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar