Rabu, 20 Juli 2011

Dr Hermayawati Ciptakan Modul Ajar Bahasa Inggris Bagi TKI



Tanpa ilmu yang cukup, para pahlawan devisa kita tentu saja akan mendapatkan hasil yang kurang juga, selain kurangnya penghargaan belum lagi masalah bahasa ternyata dapat mempersulit mereka di tempat kerja di luar negri.  Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW) bukan merupakan fenomena baru. Kegiatan ini bahkan sudah dilaksanakan sejak belasan tahun silam. Bahkan di tengah pelbagai kasus kekerasan mulai dari penganiayaan hingga sampai kematian TKW kita di mancanegara, hal itu tidaklah menyurutkan niat mereka yang ingin mencari dan memperbaiki ‘kesejahteraan’ keluarga.
foto >> voicesnoices.blogs.friendster.com
foto >> voicesnoices.blogs.friendster.com


Andai saja pemerintah bisa menyediakan lapangan kerja, ungkap Dr Hermayawati, tentu persoalannya akan menjadi lain. “Tetapi mereka yang berpendidikan rendah, seringkali terpinggirkan dalam akses lapangan kerja. Padahal mereka juga ingin memperbaiki kehidupan dan kesejahteraannya,” ungkap ibu 3 anak : Adhi, Wita dan Hatma, buah cintanya dengan Ir Setijadi Harianto MN MT.

Fakta inilah yang membuatnya terus berpikir, mengapa semua ini terjadi. Sampai akhirnya, ungkap Hermayawati, menemukan hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dan Depnaker. “Di antara hasil penelitian ini menyimpulkan bila sebenarnya akar permasalahan problem TKI ada pada kurangnya penguasaan keterampilan baik dalam bekerja maupun dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing di tempat mereka bekerja,” paparnya suatu sore, di sela menunggu waktu berbuka puasa. Sebagai orang yang bergelut dalam dunia pendidikan bahasa, hasil ini tidaklah menjadi data yang harus didiamkan. Pikiran Hermayawati pun mengembara dengan sebuah tanya: apa yang bisa saya lakukan untuk membantu para TKI yang didominasi TKW ini agar bisa melaksanakan niat mulianya menyejahterakan keluarga? Keinginannya berbagi kasih agar mereka yang memiliki cita-cita mulia ini terbantu, membuatnya menekuni problem tersebut. Ketekunan itu pun membuahkan hasil dan mengantarkannya meraih gelar Doktor Linguistik. Kini penelitian yang membuahkan modul pengajaran Bahasa Inggris untuk calon TKI yang baru pertamakali dilakukan telah dibukukan. Bahkan kini telah dipatenkan.
Bisa dijelaskan lebih dulu, darimana awal yang membuat Anda tertarik untuk meneliti hal ini?
Ketika kita mendengar kisah-kisah TKI khususnya TKW, maka akan mengenal 2 persoalan yang selalu muncul: kurangnya penguasaan keterampilan dalam bekerja maupun dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asing di tempat mereka bekerja. Akibatnya? Harus diakui, TKI kita kalah bersaing dibanding tenaga kerja dari ‘pemasok tenaga kerja’ negara lain seperti Vietnam, Filipina, India. Mereka kalah. Sebagai orang bahasa saya tertarik pada kurangnya mereka berkomunikasi. Ini dasar penelitian saya.
Bagaimana kemampuan berbahasa tenaga kerja negara lain?
Kita harus mengakui, dari segi kemampuan bahasa, kita jauh lebih rendah. Dalam berkomunikasi, mereka sangat jauh dari terampil atau komunikatif. Sehingga users di luar negeri lebih memilih tenaga kerja negara lain daripada negara kita. Bahkan hasil penelitian Lembaga Penelitian UI dan Depnakertrans yang berjudul ‘Situasi TKI di Sembilan Negara’ menyimpulkan bahwa TKI kurang diminati di 9 negara Asia Pasifik dan Timur Tengah yaitu: Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Korea, Jepang, Saudi Arabia, Iran dan Amerika. Ini jadi masalah. Padahal dari segi ekonomi diakui atau tidak, remitansi yang berasal dari tabungan TKI ini sebetulnya sangat besar. Bahkan bisa dikatakan, dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Apa artinya?
Ini mestinya diimbangi dengan layanan yang proporsional. Menurut hasil penelitian ‘kan tidak proporsional layanannya, yang selama ini dilakukan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Tadinya saya berhipotesa, kalau komunikasi berbahasa itu tak baik, tanda tanya saja: bagaimana pelatihan di PJTKI itu? Maka saya meneliti. Dan ternyata setelah saya teliti, guru tidak memenuhi persyaratan sebagai guru, buku ajar jauh dari layak. Dari situ saya mulai berpikiran untuk membuat, menyusun buku ajar yang lebih berkualitas dan sesuai kebutuhan mereka
Anda melihat dari pelatihan ini sudah terlihat, bahwa TKI kita tidak kompetitif?
Ya. Dilihat dari instrukturnya saja sudah tampak. Pertama, pelatih adalah mantan TKI. Menurut saya, ini sudah tidak sesuai hakikat pengajaran. Kalaupun lebih tinggi, bukan dari guru. Padahal ini untuk mengajarkan Bahasa Inggris, mestinya ‘kan guru Bahasa Inggris-lah. Bukan hal mudah untuk mewujudkan sesuatu yang ideal. Tetapi Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini melihatnya dalam beberapa aspek. Mulai dari lembaga, tenaga pengajar dan tentu juga in-take siswa juga prasarana yang ada termasuk buku. “Dalam belajar bahasa, buku menjadi komponen kunci,” tambahnya.

Lantas apa yang Anda lihat dalam beberapa PJTKI yang diteliti?

Lembaga kurang memahami hakikat pelatihan, terutama pelatihan bahasa. Meski harus dengan mengucap “maaf” saya harus mengatakan yang terjadi menjadi jauh dari ideal. Bagaimana tidak, kalau yang direkrut adalah guru yang sekali lagi maaf, asal-asalan. Karena banyak PJTKI mengambil mantan TKI sebagai guru bahasa calon TKI tersebut.
Anda mempersoalkan hal itu?
Tentu. Maka saya bertanya pada mereka, mengapa seperti itu. Jawabnya simpel : “karena yang pernah di sana”. Padahal menurut saya, sekalipun pernah di sana tapi ‘kan tidak tahu cara mengajar. Saat pertanyaan ini saya lontarkan, jawab pengelola PJTKI tentu klise: “ngepres beaya”. Saya memahami. Beaya-beaya pelatihan itu ‘kan dibayar oleh TKI sendiri yang nanti dipotong dari gajinya setelah ditempatkan. Kemudian juga in-take siswa. Kalau bekalnya terlalu rendah, hasilnya tidak bisa langsung diharapkan tinggi. Kita kalau mengajar ‘kan juga lihat siswanya. Ini dasar kita dalam mengajar.
Persoalan kemampuan berkomunikasi atau penguasaan bahasa ini menarik Anda kemudian diteliti dan menjadi disertasi. Anda kemudian membukukan dan mematenkan. Mengapa?
Saya orang pertama yang meneliti pengajaran bahasa untuk TKI ini. Saya menganjurkan peneliti untuk meneliti, tapi saya khawatir buku ini dipakai tanpa izin saya. Padahal hak cipta dilindungi undang-undang (UU). Sebetulnya buku ini sebelum saya cetak, sudah diterapkan di 3 PJTKI yang saya teliti itu. Tapi saya masih khawatir, kalau saya biarkan tidak dipatenkan, tahu sendiri lah… . Di negeri tercinta ini banyak pencurian hak cipta termasuk buku. Yang kedua, buku ini akan saya serahkan ke Depnaker, tapi sebelumnya akan saya tawarkan ke Ditjen Dikti. Sebab saya ada di bawahnya secara struktural. Saya berharap Dikti akan berikan penilaian pada buku yang masuk dan kemudian akan diberi semacam HR. Dari Dikti setelah di-acc akan saya masukkan ke Depnaker.
Tapi apa harapan Anda akan perbaikan TKI dengan modul ini?
Paling tidak, akan meningkat kemampuan berbahasa mereka. Dan kemampuan ini Insya Allah akan dapat meningkatkan bargaining position mereka. Sebab kompetitif. Kalau demikian, mereka akan bisa menarik orang yang mencari lowongan kerja di luar negeri, karena di dalam susah mencari. Artinya, ini mengurangi pengangguran di dalam negeri.
Adalah ‘keberuntungan’ Hermayawati. Sekalipun perjalanan panjang membela TKI ini masih setapak dan baru dimulai, sudah ada kelompok-kelompok kecil yang melirik temuannya. Bahkan pematenan karyanya itu pun disebutnya karena banyak bantuan dari notaris muda Yogya, Carlina. Sementara, juga ada LSM yang akan mem-’back-up’ perjuangan mulia untuk memperbaiki nasib para ‘pahlawan devisa’.

Anda menegaskan, buku modul ini sangat dekat dengan TKI untuk meningkatkan ‘bargaining’ sehingga harus dikomunikasikan. Ketika persoalan TKI sangat kompleks, apa harapan pada pemerintah?

Selain rencana ke Dikti dan Depnaker, dalam arti usaha struktural, saya juga berusaha secara informal. Saya serahkan ke LSM dan bagaimana menyampaikan pada yang berkepentingan dalam hal ini PJTKI.

Mengapa tidak langsung ‘menjual’ ke PJTKI?

Saya tak punya harapan terlalu banyak. Sebab PJTKI duit-nya terbatas. Paling tidak gimana ya, kalau menjual kok membuat kesan saya ini matre. Saya tidak menafikan butuh duit, tapi saya ingin memperhatikan nasib TKI yang 95% perempuan. Saya peduli karena mereka kebanyakan ibu ruamhtangga yang berjuang menghidupi keluarga, menggantikan suami dengan penghasilan minim. Niat mulia mereka menyejahterakan keluarga inilah yang kami bantu. Kalau dijual pada PJTKI dan kemudian mereka membebankan lagi pada TKI, wah……..

Anda ingin menolong perempuan?

Ya. Karena di dalam negeri mereka tidak punya tempat.

Apa sih sebenarnya yang mengetuk nurani Anda terhadap nasib TKI khususnya TKW?

Sesama nasib perempuan. Kenapa mereka harus sampai ke luar negeri? Pahami, di dalam negeri tidak ada tempat mereka untuk fight. Mereka lebih berani menempuh risiko apapun, adalah untuk keluarga. Kadang saya bertanya, di mana suami atau saudara laki-laki mereka? Di sisi lain, sebenarnya pemerintah juga terbantu secara ekonomi. Saya juga tidak terlalu berharap untuk buku saya segera diperhatikan tanpa ada publikasi. Karena itu saya juga berusaha keras bisa mempublikasikan karya saya ini melalui LSM dan dengan Ibu Carlina. Makanya modul ini saya patenkan. Saya ingin buku ini dipakai dan meningkatkan kualitas TKI agar bisa meningkatkan posisi tawar mereka. Kalau misal mendatangkan rezeki bagi saya. Alhamdulillah. Ini memang modul berbahasa Inggris. Padahal TKI kita ke mana-mana. Kalau sudah di-floor-kan, nanti juga akan diterjemahkan dalam macam-macam bahasa.
Apa tidak terlalu berbelit kalau tidak langsung ke PJTKI?
Kalau saya ke PJTKI, saya malah agak pesimis. Karena mereka berpikir “kaya ngene wae mlaku”.
Bukankah selama ini dengan melatih seadanya, calon TKI-nya laku?
Di antara TKI, 95% adalah TKW. Anda melihat hal menarik bagi itu calon TKW ini saat pelatihan? Yang paling menarik, yang saya lihat di pelatihan mereka sebetulnya antusias, bermotivasi tinggi bekerja di luar negeri. Hanya karena keterbatasan dalam menerima ilmu. Tapi itu menurut saya karena penyampai konsep, tidak menyampaikan secara natural. Kalau dilihat dari buku TKI, konsepnya latihan tanpa berkomunikasi. Padahal itu amat sangat dibutuhkan mereka ketika di luar negeri. Keterampilan berbicara yang jadi kebutuhan pokok, tidak disampaikan natural. Bukunya hanya dasar-dasar kosakata yang harus diapalkan, apalagi kalau latihan keterampilan terutama untuk PRT. Misal mereka tidak pernah berhubungan dengan alat elektronik. Tapi tidak dilakukan dalam waktu yang proporsional. Gambarannya, pelatihan 3 bukan tapi tidak penuh sebab digunakan untuk urus paspor, telepon dengan calon majikan dan lainnya.

Anda melihat ada hal yang perlu dirombak dalam pengiriman TKI?

Perbaiki mulai dari penyiapan. Persiapan ini mulai dari keterampilan. Jangan dirombak-ah, nanti seperti ekstrim dan seperti tidak menghargai yang sudah ada.

Remitansi itu luar biasa dan membantu pembangunan Indonesia? Apa timbalbalik yang diperoleh TKI?

Belum proporsional layanan pemerintah terhadap TKI. Nyatanya, pelatihan saja belum memenuhi kriteria kelayakan. Itu yang nyata. Yang lain? Perlakuan oknum-oknum yang bersangkutan dengan TKI. Adanya Terminal 3 itu adalah contoh dan di sana TKI sangat tertekan. Pahami, bahwa TKI yang didominasi TKW ini sudah memberikan amat banyak, mengapa mereka tidak dilayani proporsional? Bahkan sering mendapat perlakuan diskriminatif?
Apa obsesi Anda?
Dengan menciptakan modul bahasa ini saya ingin berjuang agar TKI kompetitif. Dengan kompetitif akan mengangkat nama bangsa tak dilecehkan sebagai pengekspor pembantu saja. Karena TKI akan terus dikirim sebab pemerintah sendiri sulit menyediakan lapangan kerja untuk mereka.
 diunduh dari [Kedaultan Rakyat/Fadmi Sustiwi/September2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar